Bupati dan wali kota seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat menyatakan menolak Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagari) Nomor 32 Tahun 2011 yang mengatur penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat. Alasannya, masyarakat Papua dan Papua Barat terbelakang, jauh dari jangkauan bank sebagaimana diamanatkan undang-undang. Konstruksi sosial masyarakat Papua juga tidak mendukung pelaksanaan Permendagari tersebut.
Permendagri tidak relevan dengan konstruksi sosial masyarakat Papua. Disebutkan, setiap pekan, masyarakat Papua antre di depan kantor atau rumah bupati untuk meminta bantuan uang.
-- Lucas Enembe
Bupati Puncak Jaya Lucas Enembe dan Bupati Dogiyai Fabianus Yobee dan Yohanis Pasang dari Mimika di Manado, Selasa (22/5), menyatakan hal itu di sela-sela pertemuan Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, serta Papua dan Papua Barat.
Menurut Enembe, penolakan Permendagri telah dinyatakan para kepala daerah saat pertemuan di Jayapura beberapa waktu lalu. Permendagri dinilai tidak relevan dengan konstruksi sosial masyarakat Papua. Disebutkan bahwa setiap pekan, masyarakat Papua antre di depan kantor atau rumah bupati untuk meminta bantuan uang. Hal itu berbeda dengan masyarakat di Jawa.
"Rakyat Papua dari lahir, nikah, sampai mati minta ongkos bupati, bagaimana Permendagri diterapkan?" ungkapnya. Ia juga mengatakan bahwa bantuan sosial yang disalurkan Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya hampir mencapai Rp 10 miliar setiap tahun, diberikan secara tunai langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Ia menampik bantuan sosial sebagai program pencitraan kepala daerah dalam rangka pemilihan kepala daerah.
Hal sama disampaikan Fabianus Yobee. Ia menyebut Permendagri tidak cocok diterapkan di Papua yang masyarakatnya terbelakang karena penerima bantuan sosial adalah kelompok masyarakat yang berbadan hukum dan memiliki rekening bank.
Disebutkan bahwa persyaratan penerima bantuan cukup ketat karena di beberapa daerah kabupaten, masyarakat tidak terbiasa dengan bank. Bahkan, suatu kawasan kabupaten di Papua bisa nyaris tidak memiliki bank.
Abdul Latief dari BPK dan Arnold Angkouw dari Kejaksaan Agung meminta para bupati Papua membuat penolakan tertulis disampaikan ke Mendagri. Laporan tertulis menjadi dasar bagi pemeriksa laporan keuangan daerah di Papua. " Saya setuju, tetapi harus dibuat tertulis," kata Latief.


Sumber : Kompas.com